Selingkuh Dengan Teman Istiku Yang Berjilbab

0

Peristiwa ini sebenarnya tak pernah kuduga sebelumnya, mengingat Bu Evi (teman istriku) tidak menampakkan gejala-gejala nakal sebelumnya. Apalagi mengingat dia akrab dengan istriku. Istriku pun kelihatannya percaya dan tak mencurigai kalau aku bepergian dengan Bu Evi. Lagian kalau niat mau selingkuh, masa Bu Evi berani ke rumahku? Apalagi mengingat Bu Evi kelihatannya taat beribadah. Tiap hari selalu mengenakan jilbab. Aku dan istriku sama-sama berwiraswasta, tapi lain bidang. Aku sering jadi mediator, begitu juga Bu Evi. Sementara istriku membuka toko kebutuhan sehari-hari, jadi bisnisnya cukup menunggui toko saja. Di belakang rumah, istriku punya bisnis lain, beternak ribuan burung puyuh yang rajin bertelur tiap hari. Pada suatu pagi, waktu aku baru mau mandi, istriku menghampiriku.

“Ada Bu Evi, Bang.
“Oh, iya… kami sudah janjian mau ketemu pemilik tanah yang mau dijadikan perumahan itu,” sahutku,
“Suruh tunggu sebentar, aku mandi dulu.” sambungku.Istriku lalu pergi ke depan. Sementara aku bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi dan berdandan, aku melangkah ke ruang tamu. Bu Evi sedang ngobrol dengan istriku.
“Barusan istri Herman datang, Bang,” kata istriku waktu aku baru duduk di sampingnya,
“Herman sakit, kakinya bengkak, asam uratnya kambuh, jadi gak bisa kerja hari ini.”
“Penyakit langganan,” sahutku dengan senyum sinis.

Dengan hati kesal, karena aku harus nyetir sendiri hari ini. Herman adalah nama sopirku.“Acaranya hari ini nggak jauh kan?” tanya istriku,

“Sekali-sekali nyetir sendiri kan nggak apa-apa.” sambung istriku.
“Iya… ada sopir atau nggak ada sopir, kegiatanku takkan terhambat,” kataku, lalu menoleh ke arah Bu Evi yang saat itu mengenakan baju hijau pucuk daun dan kerudung putih,
“Berangkat sekarang Bu?”
“Baik Pak,” Bu Evi memegang tali tas kecilnya yang tersimpan di pangkuannya.
Tak lama kemudian Bu Evi sudah duduk di sampingku, di dalam sedan yang kukemudikan sendiri.Obrolan kami di perjalanan hanya menyangkut masalah bisnis yang ada kaitannya dengan Bu Evi. Tidak ada yang menyimpang. 

Bahkan setelah tiba di lokasi, aku tak berpikir yang aneh-aneh. Bahkan aku jengkel ketika pemilik tanah itu tidak ada di tempat, harus dijemput dulu oleh keponakannya.

Kami duduk saja di dalam mobil yang parkir menghadap ke kebun tak terawat sehingga mirip hutan, yang rencananya akan dijadikan perumahan oleh kenalanku seorang developer. Suasana sunyi sekali. Entah kenapa, suasana sunyi itu membuatku tiba-tiba iseng memegang tangan Bu Evi. “Bisa dua jam kita menunggu di sini, Bu.”
“Iya Pak,” sahutnya tanpa menepiskan genggamanku,
“Sabar aja Pak, dalam bisnis memang suka ada ujiannya.”Aku terdiam, tapi tidak dengan tanganku. Aku mulai meremas tangan wanita 30 tahunan itu, yang makin lama terasa makin hangat. Dia juga membalasnya dengan remasan. Apakah ini berarti, ah… pikiranku melayang tak menentu. Mungkin di mana-mana lelaki itu sama seperti aku.

Dikasih sejengkal mau sedepa. Remas-remasan tangan tidak berlangsung lama. Kami bukan ABG lagi. Masa cukup dengan remas-remasan tangan?Sesaat kemudian, lengan kiriku sudah melingkari lehernya. Tangan kananku mulai berusaha membuka jalan agar tangan kiriku bisa menyelusup ke dalam bajunya yang sangat tertutup itu. Bu Evi diam saja. Dan akhirnya aku berhasil menyentuh payudaranya. Tapi dia menepiskan tanganku.

“Duduknya di belakang saja Pak, di sini takut dilihat orang”
Senangnya hatiku. Karena ucapannya itu mengisyaratkan bahwa dia juga mau!“Kenapa mendadak jadi begini Pak?” tanya wanita berjilbab itu ketika kami sudah duduk di jok belakang, pada saat tanganku berhasil menyelinap ke baju tangan panjangnya dan ke balik BH-nya.


HALAMAN 2

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top